|
Surat Edaran - Foto : Ist |
Surat Edaran (SE) Nomor 12/Seskab/XI/2014 tertanggal 4 November 2014 tentang larangan rapat dengan pihak DPR menuai kontroversi. Melalui surat ini, Istana memperkeruh dinamika di Parlemen. Jokowi adalah Presiden bercita rasa Walikota.
Baru satu bulan menjabat, Jokowi telah membuat polemik dengan lembaga legislatif. Pemicunya SE Nomor 12/Seskab/XI/2014 yang diteken Menteri Sekertaris Kabinet Andi Widjajanto. SE itu berbasis instruksi Presiden Jokowi. Begitu yang termuat dalam SE yang sifatnya terbatas dan rahasia itu.
Dalam surat rahasia itu, disebutkan SE itu merupakan tindaklanjut dari arahan Presiden Jokowi dalam sidang Kabinet Paripurna pada 3 November 2014. Disebutkan dalam surat tersebut agar para pejabat dari menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf TNI Angkaran, Kepala BIN, sera Plt Jaksa Agung agar menunda pertemuan dengan DPR baik pimpinan DPR maupun alat kelengkapan DPR.
"Untuk menunda pertemuan dengan DPR, baik dengan Pimpinan maupun Alat Kelengkapan DPR guna memberikan kesempatan kepada DPR melakukan konsolidasi kelembagaan secara internal," demikian bunyi surat rahasia itu.
Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin menyayangkan munculnya SE dari Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto yang melarang para menteri dan pejabat eksekutif menghadiri undangan DPR RI.
"Saya sangat menyayangkan (surat itu). SE itu justru makin menjadikan tidak harmonis antara eksekutif dan legislatif. Seharusntya SE itu tidak beredar," cetus Aziz usai memimpin rapat kerja dengan Panitia Seleksi Pimpinan KPK di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin, 24 November 2014.
Menurut Aziz, ada aturan main dalam relasi DPR dan pemerintah. Ia kemudian menunjuk salah satu aturan di UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan jika pejabat negara diundang tiga kali tidak hadir tanpa ada alasan.
"Teman-teman lagi melakukan upaya konstitusi," cetus Aziz.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmon Junaidi Mahesa menuding SE yang dikeluarkan Sekretariat Kabinet tak lebih sebagai strategi pemerintah untuk mendelegitimasi kelembagaan DPR.
"Supaya muncul kesan bahwa DPR tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya," sebut Desmon.
Jokowi sendiri tidak menampik ihwal surat edaran tersebut. Ia beralasan, dualisme di DPR membuat pemerintah kerepotan. Menurut dia, kondisi ini tidak membuat enak pemerintah.
"Kalau nanti kita datang ke sini keliru, datang ke sana keliru. Biar di sana sudah rampung, sudah selesai," kata Jokowi di Istana Bogor, Senin, 24 November 2014.
Hal ini tentu menggelikan, karena sebenarnya, KIH dan KMP telah "merampungkan" islah -bila yang dimaksud Jokowi dengan rampung adalah perdamaian KMP - KIH- sejak tanggal 17 November 2014 lalu.
Jokowi juga mengaku keheranan dengan undangan dari DPR kepada para pembantunya ke DPR. Menurut dia, usia pemerintah belum genap satu bulan namun sudah dipanggil oleh DPR.
"Kan juga baru kerja sebulan, dipanggil-panggil apanya?," gugat Jokowi.
Pernyataan Jokowi ini tentu mengejutkan. Pasalnya, pada 17 November 2014 lalu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sepakat untuk mengakhiri perseteruan. Terdapat lima butir kesepakatan damai yang diteken. Salah satu poin penting dari kesepakatan itu dengan mengubah dua pasal di UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
SE larangan rapat dengan DPR memang mujarab. Sejumlah undangan rapat dari alat kelengkapan dewan tidak dipenuhi oleh pemerintah. Meski ada juga menteri yang hadir atas undangan DPR. Seperti pekan lalu, Menteri Hukum dan HAM Yassona H. Laoly hadir dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR RI.
Sikap dan respons Jokowi terhadap DPR tentu di luar norma hubungan DPR dan pemerintah. Konstitusi secara tegas menempatkan DPR dan pemerintah dua entitas yang berdiri sejajar tidak subordinat satu sama lain. DPR memerankan perannya dalam melakukan koreksi dan penyeimbang terhadap kebijakan pemerintah.
Bangunan lembaga DPR RI dengan DPRD tentu berbeda. DPRD dalam aturan perundang-undangan menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintahan daerah. Jokowi dalam berbagai kesempatan menempatkan DPR RI seperti DPRD. Padahal, dua lembaga itu berbeda satu sama lain.
Melihat cara Jokowi memperlakukan DPR RI, patutlah Jokowi disebut sebagai Presiden karbitan. Presiden yang secara grusa-grusu diusung untuk memuaskan kehausan kuasa partai pendukungnya. Waktu satu bulan ini membuktikan, Jokowi masih meletakkan dirinya sebagai pemimpin kota yang berkuasa absolut dan berdiri di atas dewan legislasi, persis ketika ia masih menjabat sebagai walikota di Solo, bukan seorang Presiden yang taat konstitusi dan melayani rakyat banyak. [*]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !