|
Faisal Basri - Foto : youtube |
Upaya Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri meminta transparansi Pertamina membuka rincian harga produksi Bahan Bakar Minyak, perlu dicermati dengan seksama.
Tim Reformasi Tata kelola Migas menganggap, mafia migas memanfaatkan ketidakjelasan harga produksi BBM dan menikmati keuntungan dari proses produksi BBM.
Hal ini membuat Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, menuntut Menteri ESDM untuk membuka secara transparan rincian harga BBM.
''Saya tuntut ke Menteri ESDM untuk dibuka ke publik,'' kata dia, Senin, 24 November 2014.
Harga BBM yang kini harus dibayar publik, menurut Faisal harus dapat dijabarkan secara jelas. Sampai ke perincian mengapa harga premium harus Rp8.500, pertamax Rp9.950 dan solar Rp7.500.
Menurut hitungan Faisal, harga pertamax yang diklaim "turun" itu memang seharusnya turun, bahkan, menurut Faisal, dengan harga Rp9.500 saja pemerintah sudah diuntungkan.
''Harga pertamax 9.500 sudah untung. Harga premium 8.500 itu kan premium kita produksi pakai Ron 88. Itu tak cukup dicampur dengan Ron 92 dari impor,'' jelas dia.
Upaya klarifikasi oleh Pertamina dan kementerian ESDM akan berguna bagi masyarakat. Agar masyarakat dapat membandingkan tak hanya harga, tapi kualitas BBM di Indonesia dengan negara lain. Bila masyarakat telah memperoleh informasi yang jelas mengenai harga BBM, tentu tak perlu lagi ada protes mengenai tarif dan kenaikan harga BBM.
Faisal menandaskan, jika ia seorang Presiden, ia akan memecat pejabat yang menutup-nutupi rincian harga produksi BBM. Pasalnya, sebagai BUMN, Pertamina harus melaksanakan kewajibannya secara jujur.
''Mafia migas hidup kalau relung-relung digelapkan,'' tegas Faisal.
Pernyataan Faisal ini boleh jadi terlihat gagah. Namun apabila ditelisik dan diteliti, ada hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Sebagai pihak yang menaikkan harga BBM, semestinya Presiden juga bertanggung jawab untuk mengetahui besaran nilai produksi BBM. Tak bisa hanya mengandalkan menteri atau pejabat setingkat Dirut BUMN semata.
Lebih lanjut lagi, bukankah kerjasama Pemerintah dengan Sonangol adalah keputusan Presiden? Aneh rasanya kalau Presiden Jokowi kemudian menghindar dan menyerahkan bom waktu ini kepada bawahannya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !