PIYUNGAN ONLINE Portal Berita, Politik, Dakwah, Dunia Islam, Kemasyarakatan, Keumatan Fahira Idris Labrak Ahok yang Akan Larang Sahur On The Road | 5:18:29 AM | PIYUNGAN ONLINEhttps://plus.google.com/114751447713313717725noreply@blogger.com |
| Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berencana untuk mengkaji perizinan Sahur On The Road (SOTR). Jika dianggap mengganggu seperti melakukan tindakan negatif dan membuang sampah sembarang, SOTR harus dilarang.
Menyikapi pernyataan Ahok tersebut, senator (anggota DPD RI) asal DKI Jakarta Fahira Idris menentang larangan SOTR. Menurutnya, mantan Bupati Belitung Timur itu harus mengimbau peserta SOTS untuk tidak menyampah dengan menggunakan berbagai media, termasuk televisi.
"Pak @basuki_btp saya himbau Anda untuk TIDAK MELARANG SAHUR ON THE STREET, CUKUP HIMBAU MEREKA UNTUK TIDAK NYAMPAH SAJA LAH," tulis Fahira melalui akun Twitter-nya, Rabu (17/6).
"Pak @basuki_btp itu pesta2 akhir tahun yg bikin nyampah kenapa tidak dilarang?? TOLONG JANGAN LARANG S.O.T.S YA!," lanjut Fahira.
Menurutnya, jika ada yang membuang sampah hingga membuat keonaran, peserta tersebut harus ditangkap dan diberi sanksi. Lebih lanjut, pegiat anti minuman keras ini menegaskan, siapa pun yang melarang SOTR harus berhadapan dengannya.
"Siapa pun yang melarang kegiatan Sahur on the street di wilayah #Indonesia akan berhadapan langsung dengan saya," tegas Fahira.
Selanjutnya, Fahira Idris menyampaikan tentang kegiatan SOTR:
1. Sdh puluhan tahun #SOTR jd kebiasaan masyarakat slama Ramadhan baik di #Jakarta & daerah lain
2. Mulai dari siswa, mahasiswa, komunitas, perusahaan, hingga instansi pemerintah kerap melakukan #SOTR
3. Bahkan banyak iring2an #SOTR dikawal oleh pihak keamanan. Bukan karena takut #SOTR disalahgunakan, tp agar #SOTR berjalan lancar
4. Karena bulan ini penuh berkah, makanya orang berlomba2 berbuat kebaikan dan Insya Allah terus berlanjut walau Ramadhan telah usai nanti
5. Sebagai penggiat #SOTR ada perasaan yg susah dilukiskan saat melihat orang yg tidak seberuntung kita bs sahur dgn lahapnya
6. Walau hanya sebungkus nasi & semangkuk minuman tetapi menjadi tidak ternilai karena ada keikhlasan & gotong royong dlm #SOTR
7. Banyak nilai yg bisa diambil terutama oleh generasi muda kita dari #SOTR. Rasa empati, gotong royong, rela berkorban, dan ikhlas
8. Bukankah rasa ini yg diperlukan saat nanti mereka memimpin negeri ini? #SOTR
9. Memang #SOTR bukan tanpa cela. Banyak yg menyalahgunakan menjadi kegiatan tak berguna. Tp apa benar mereka berniat #SOTR ?
10. Jika ada iring2an pd waktu sahur & mereka mengganggu ketertiban umum itu pasti bkn niat untuk #SOTR . Harus ditindak!
11. Jgn hanya karena segelintir yg tidak tertib, kegiatan #SOTR menjadi dilarang!
12. Saya harap Pemprov DKI #Jakarta tdk melarang #SOTR ini dgn alasan kebersihan, nyampah, ataupun keamanan dll
13. Jika dikelola, #SOTR terutama yg dilakukan oleh para #Remaja akan sangat bermanfaat u/ mengasah hati mereka agar lebih baik lagi
14. Mari sama2 kita kampanyekan #SOTR yg bermanfaat. #SOTR yg baik & benar serta tentunya bermanfaat
15. Atau alangkah baiknya Pemprov DKI #Jakarta punya program #SOTR yg melibatkan muda-mudi kita
16. Saya rasa jika dibimbing, muda-mudi #Jakarta bs jd contoh bagi #Remaja d kota lain bgmn #SOTR yg baik & benar serta tentunya bermanfaat
Seperti diberitakan Metrotvnews, Secara pribadi Ahok tak suka ada kegiatan SOTR (Sahur On The Road) yang mengganggu. Sesuai arahan dari kepolisian yang akan menindak tegas bila kegiatan SOTR menimbulkan ketidaknyamanan. (Baca: Ahok Sarankan Sahur on The Road Dilarang http://metrotvn.ws/A405307)
|
"Demografi & Agama" | Kolom Anis Matta | 4:30:01 AM | PIYUNGAN ONLINEhttps://plus.google.com/114751447713313717725noreply@blogger.com |
|
Demografi & Agama Oleh Anis Matta Dimuat di Koran SINDO 17 Juni 2015
Agama salah satu faktor yang memengaruhi perilaku individu. Ketika individu-individu berkembang menjadi kelompok, tentu ia akan memengaruhi wajah suatu masyarakat.
Sejumlah orang menganut agama tertentu, dengan identitas dan perilaku tertentu, adalah fakta demografis dan sosiologis yang membentuk peta sosial-politik. Bagaimana pada tataran global? Pada April lalu Pew Research Centre di Amerika Serikat melansir laporan prediksi pertumbuhan agama-agama di dunia. Dalam laporan itu diperkirakan pada 2050 jumlah muslim akan sama dengan pemeluk agama Kristen di dunia.
Sebagai perbandingan, pada 2010 Kristen adalah agama terbesar di dunia dengan estimasi pemeluk 2,2 miliar (31%) dari 6,9 miliar penduduk Bumi. Islam berikutnya, dengan jumlah 1,6 miliar atau 23%. Lebih lanjut Pew memprediksi muslim akan mengisi 10% populasi Eropa dan menggeser Yahudi sebagai agama non-Kristen terbesar di Amerika. Di negeri Paman Sam, pemeluk Kristen akan turun dari tiga perempat menjadi dua pertiga pada 2050. Yang menarik India. Hindu akan tetap menjadi agama mayoritas.
Namun, karena penduduk yang begitu banyak, jumlah muslim di India akan melewati negara mana pun, termasuk Indonesia. Atheis, agnostik, dan orang yang tidak berafiliasi dengan agama, walaupun meningkat di sejumlah negara seperti AS dan Prancis, akan menurun pangsanya dalam komposisi populasi global. Buddha akan berjumlah sama dengan jumlahnya pada 2010, sementara Hindu dan Yahudi akan tumbuh.
Di Afrika diperkirakan Kristen akan tumbuh mencapai 40% dari jumlah penduduk benua itu. Nigeria akan menjadi negara dengan jumlah umat Kristen terbanyak dibanding semua negara, kecuali AS dan Brasil. Inilah prediksi wajah demografi agama di dunia pada 2050. Setiap prediksi tentu punya kelemahan dan ruang untuk kesalahan ( margin of errors ), namun laporan Pew ini menarik untuk kita jadikan sebagai referensi secara kritis.
Selain potret demografis, kita juga menyaksikan tokoh-tokoh berbagai agama muncul di berbagai bidang. Ambil contoh di Amerika. CEO Microsoft Satya Nadella adalah warga negara AS beragama Hindu kelahiran Hyderabad, India. Co-founder YouTube Jawed Karim adalah muslim keturunan Bangladesh kelahiran Jerman Timur (waktu itu) yang melintas ke Jerman Barat dan pindah ke Amerika setelah reunifikasi Jerman.
Di negeri Paman Sam sudah ada dua orang muslim menjadi anggota Kongres. Di Belanda, wali kota Rotterdam adalah muslim kelahiran Maroko dan di Inggris sudah ada beberapa wali kota muslim. Masih banyak contoh di berbagai negara.
Keseimbangan Baru
Fenomena di atas dan prediksi Pew menunjukkan dunia sedang bergerak ke arah keseimbangan baru-dengan segala harapan dan kecemasannya. Dalam berbagai kesempatan berdiskusi di negara-negara dunia Islam, seperti Turki, Mesir, atau Aljazair, saya kerap mendapat pertanyaan bagaimana Indonesia melewati transisi demokrasi dalam ketegangan hubungan antara Islam dan negara serta Islam vis-a-vis modernitas.
Di Indonesia sendiri ini diskusi panjang yang telah dibuka Tjokroaminoto dan Sutan Takdir Alisjahbana sebelum kemerdekaan, dilanjutkan Nurcholish Madjid mulai 1970-an, hingga sekarang. Yang juga banyak dibahas adalah betapa benturan budaya yang belum sepenuhnya selesai menjadi masalah bagi modernisasi di dunia Islam. Basis keagamaan yang kental di suatu masyarakat tidak dapat dicerabut begitu saja oleh proyek besar modernisasi. Pada saat yang sama, negara tidak dapat menyelesaikan benturan ini dengan pendekatan struktural.
Dalam hal relasi agama (Islam) dan negara, dari pengalaman banyak negara, ketegangan yang muncul malah berujung pada pertempuran yang merugikan kedua belah pihak ( lose-lose battle). Jika kita membaca data Pew di atas, kita melihat keseimbangan geopolitik baru di masa depan dimulai dari perubahan lanskap demografis. Negara tidak lagi menjadi "lawan bicara" tunggal agama dalam berinteraksi. Masyarakat sipil dan pasar kini berperan untuk menjadi ruang aktualisasi agama-agama.
Negara akan surut menjadi penjaga ketertiban administrasi penduduk global yang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Negara akan menjadi makin netral dan tak "berwarna". Agama pernah menjadi faktor pemicu globalisasi sejak lebih dari seribu tahun lalu, ketika terjadi penyebaran agama dari pusat-pusat agama ke berbagai penjuru dunia, baik Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen. Namun, konteks penyebaran agama pada saat itu adalah ekstensifikasi basis pengikut secara kuantitatif yang kerap berkelindan dengan motif-motif politik dan ekonomi.
Globalisasi agama yang sekarang berlangsung adalah rasa pertautan orang-orang di seluruh dunia oleh ajaran, referensi dan perilaku dari ajaran agama yang sama. Pertumbuhan agama bukan lagi disebabkan ekspansi wilayah dan penaklukan, tetapi akibat "pertumbuhan organik" di dalam umat beragama tersebut dan akseptabilitas agama oleh individu yang makin atomistik. Daya globalisasi agama kini dalam beberapa hal mengaburkan negara-bangsa.
Globalisasi punya sisi gelap membuat orang teralienasi, merasa asing, dan sendiri di tengah dunia yang hiruk-pikuk. Maka tak heran jika globalisasi, selain menghasilkan keterbukaan, juga memicu lahirnya "ketertutupan". Fenomena ekstremisme dan primodialisme merupakan pantulan balik dari globalisasi yang menjangkau hingga ke relung-relung privat kehidupan. Kita beruntung karena semua umat beragama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari terbentuknya negara-bangsa Indonesia.
Perdebatan Piagam Jakarta dalam proses pembentukan negara Indonesia adalah referensi sejarah yang berharga. Saya memandang peristiwa itu secara positif. Itulah bentuk kompromi dan jiwa besar para pendiri bangsa dalam menyusun suatu cetak biru yang dapat memayungi seluruh warga dari berbagai agama. Karena itu, untuk konteks Indonesia, globalisasi agama (atau agama-agama) dan negara-bangsa dapat diarahkan untuk saling memberi manfaat dan menguatkan satu sama lain. Keseimbangan baru di tataran global tidak boleh dimaknai karena "kuat sama kuat, mari kita bertarung".
Sebaliknya, spirit yang harus dikedepankan adalah "karena kita sama kuat, mari bekerja sama". Koeksistensi damai antaragama adalah proyek besar berikutnya untuk meredam kekerasan berkedok agama yang dimainkan sekelompok kecil tertentu. Dunia kini diliputi kecemasan akibat terorisme karena siapa pun kita dan apa pun agama kita dapat saja tiba-tiba terluka bahkan terbunuh oleh alasan yang tidak kita mengerti.
Rasa sakit akibat luka itu sama. Karena itu, sebenarnya umat manusia di dunia dipersatukan oleh ketakutan yang sama. Terciptanya perimbangan demografis baru pada 2050 itu harus menjadi momentum keseimbangan perdamaian global yang diusahakan oleh semua pihak, baik dari negara maupun komunitas agama global. Keseimbangan baru itu juga menjadi peluang Indonesia berperan sebagai referensi dalam transisi demokrasi dan pengelolaan relasi agama dan negara- khususnya bagi negara-negara dunia Islam.
Tentu itu memberi tantangan yang lebih berat lagi bagi kita sendiri untuk merawat demokrasi dan perdamaian antarumat beragama di negeri kita. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Sumber: Koran SINDO 17 Juni 2015
|
|
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !