Headlines News :
Home » » Bukan Karena Kita Menang Pemilu (saja) Maka Kita Memimpin (1/3)

Bukan Karena Kita Menang Pemilu (saja) Maka Kita Memimpin (1/3)

Written By Unknown on Wednesday, January 8, 2014 | 4:26 AM

 
Tulisan Anis Matta #002:
 
Kenapa kita ingin memimpin, ikhwah sekalian?? Karena insdustri kita ini (industri kita sebagai harakah) adalah sina’atul hayah – seperti yang sudah-sudah saya sampaikan sebelumnya.  

Bismillahirrahmanir rahim.Uhayyikum jamian bitahiyyatil Islam
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Alhamdulillah siang hari ini kita bertemu kembali, dan pada kesempatan ini saya akan mencoba share pada antum semua mengenai gagasan atau ide-ide besar di TPPN ini.
Ikhwah sekalian, saya ingin memulai – saya tidak memakai in focus karena saya mau menulis (di whiteboard) – ke persoalan inti kita sebagai harakah.
Persoalan inti kita sebagai harakah ini ada dua (waktu kita mulai masuk ke demokrasi, bikin partai dan mau memimpin negara):
1. Persoalan yang fundamental.
2. Persoalan yang bersifat teknis.
Persoalan yang fundamental itu adalah menyangkut masalah leverage to lead sedangkan persoalan yang menyangkut teknis itu adalah strategy to win.
Jadi yang masalah leverage to lead itu adalah menyangkut syurutul qiyadah (syarat-syarat kepemimpinan) yang dituntut kepada kita, atau kualitas-kualitas yang diperlukan jika kita ingin memimpin negara. Sedangkan yang teknis itu adalah bagaimana memenangkan pemilu.
Yang dua ini bisa berjalan seiring, bisa juga tidak. Contoh yang tidak seiring itu misalnya PKB: sempat punya presiden, tapi cuma bertahan 21 bulan, setelah itu selesai. Bisa disebut partai bisa juga tidak, tapi ICMI itu adalah satu kendaraan besar bagi Habibie, diluar Golkar, tapi nyatanya Habibie cuma bertahan 18 bulan. Begitu juga PDIP, justru ketika terdzalimi suaranya naik 34%, ketika berkuasa suaranya menurun menjadi 19%.
Jadi bukan karena kita menang pemilu maka kita memimpin. Itu harus kita bedakan. Bukan karena kita menang pemilu maka kita memimpin, pemimpin itu adalah leverage.
Kenapa kita ingin memimpin, ikhwah sekalian?? Karena insdustri kita ini (industri kita sebagai harakah) adalah sina’atul hayah – seperti yang sudah-sudah saya sampaikan sebelumnya. Saya tidak tahu, bukunya sudah diterjemahkan atau belum?? Ini penting antum baca buku ini, (live making, sina’atul hayah), bukunya Abu Ammar, Muhammad Al-Rasyid.
Jadi, oleh karena itu kita mempunyai tugas merekonstruksi kembali kehidupan kita secara keseluruhan. Dan untuk menjalankan fungsi besar ini kita membutuhkan instrumen yang juga besar, instrumen itu namanya kekuasaan, negara. Kenapa kita butuh negara ikhwah sekalian?? Karena sekarang kita hidup di era institusi, dan institusi yang paling besar di dunia ini – setidak-tidaknya dalam waktu 500 tahun terakhir ini – adalah negara. Tidak ada organisasi paling besar selain negara dalam 500 tahun terakhir. Walaupun organisasi ini (negara) dalam beberapa tahun ke depan, juga sedang menghadapi persoalan yang sangat eksistensial.
Saya menganjurkan – karena antum yang banyak yang bisa Bahasa Inggris disini – membaca buku yang ditulis oleh Peter R. Gardner: “Managing The Next Society”, disini ada pembahasan yang menarik kaitannya dengan posisi yang namanya “Nation State”, Negara Bangsa itu, dalam era globalisasi, sejauh mana akan survive dimasa mendatang; baik karena pengaruh perkembangan teknologi maupun karena pengaruh rasionalitas ekonomi. Jadi kita membutuhkan instrumen besar itu, kalau kita ingin memimpin.
Sampai disini kita tidak punya perdebatan. Perdebatan kita adalah tentang kapasitas apa yang diperlukan untuk mengelola itu semua. Itulah kepemimpinan. Dan inilah yang kita inginkan. Oleh karena itu persoalan fundamental ini harus kita pisahkan dulu dari persoalan yang teknis, tentang bagaimana memenangkan pemilu. Sebab persoalan memenangkan pemilu itu mostly adalah persoalan komunikasi. Fi muhzamihi, ahya itu adalah pada masalah komunikasi.
Image waktu kita muncul pertama kali dengan membawa citra bahwa PKS itu adalah partai yang besih dan peduli pada rakyat. Di image ini terserap dan memberikan kita ruang yang besar di tengah masyarakat, tapi waktu kita masuk dalam pemerintahan kita tidak perform. Jadi strategy to win itu adalah persoalan how to send, tetapi persoalan leverage to win itu adalah persoalan how to deliver bagaimana mendelivery ide-ide itu menjadi suatu kenyataan. Dan itu membutuhkan kualitas tertentu dari kita. Tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Kalau antum lihat, ikhwah sekalian, dalam literatur-literatur ikhwan – saya ini senang buka ini karena antum orang kaderisasi – setidak-tidaknya dalam 20 tahun terakhir ini, persoalan inilah yang tidak terbahas secara mendetil. Sebagian besar literatur-literatur pemikiran politik ikhwan itu masih ada di level menyelesaikan terminologi. Kalau antum baca bukunya Yusuf Qordhowi tentang fiqh daulah itu semuanya menyelesaikan masalah persoalan-persoalan basic/mafahim: Apa sikap kita terhadap demokrasi. Apa posisi perempuan dalam percaturan politik. Apa sikap kita terhadap ta’addudul ahzab. Sistem multi partai. Apa sikap kita tentang tahaluf (aliansi) politik, kita baru menyelesaikan perkara-perkara terminologi. Dan itupun perdebatannya panjang. Kalau antum lihat buku yang ditulis oleh DR. Abul Hamid Al-Ghazali, judulnya : “Asasiyat Masyru al-Islam” itu belum keluar dari kerangka itu semua.
Jadi harakah islamiyah secara keseluruhannya, belum keluar dari persoalan-persoalan fikriyah itu tadi, kepada persoalan-persoalan strategis. Persoalan-persoalan strategis dalam pengertian bagaimana kita perform sebagai sebuah eksistensi; baik sebagai harakah nanti maupun sebagai daulah. Itu yang belum terbahas.
Tapi di sini ada bias besar dan ini harus kita waspadai dari awal. Bahwa instrumen negara atau kekuasaan yang diperlukan ini pada akhirnya tetaplah sebagai wasilah. Kenapa ikhwah sekalian? Karena kesejahteraan itu bukanlah tujuan. Keadilan itu juga bukanlah tujuan. Tetapi (keduanya adalah) sesuatu yang diperlukan oleh manusia, supaya naik ke level kebutuhan yang lebih spiritual, setelah persoalan-persoalan basic dia sebagai manusia selesai. Artinya ini apa? Manusia lebih kondusif secara spiritual untuk taat beragama ketika dia tidak lagi memikirkan persoalan fisik yang basic: persoalan makannya selesai, persoalan minumnya selesai, pakaiannya selesai, tempat tinggalnya selesai, kesehatannya selesai. Begitu ini semua selesai, pada umumnya, – sekalipun tidak selalu begitu,karena kadang-kadang dalam keadaan miskin orang lebih dekat kepada Tuhan – kebutuhan spiritual itu muncul lebih beragam, lebih natural munculnya. Nah oleh karena itu kita perlu menghilangkan hambatan-hambatan itu semua, yang disebut dengan mawaniut tadayyun, hambatan-hambatan seseorang untuk menjadi religius. Rasulullah SAW mengatakan: “Kaadal
faqru anyakuna kufran”. Jumlah orang miskin yang lari ke masjid dibanding yang lari jadi pengemis, jadi pelacur atau yang lari jadi perampok, lebih banyak yang mana?? Artinya (bila) manusia-manusia itu dalam kondisi fisik tertekan pilihan-pilihannya itu banyak, antara positif dan negatif, tetapi umumnya mereka itu lebih cenderung memilih yang negatif, karena efek keterpaksaan itu tadi. Tetapi ketika orang itu kaya, pilihannya juga sama banyaknya dengan orang yang miskin, pilihan positif dan negatif, tapi orang kan biasanya yang kaya kalau dia bergerak dari awal, katakanlah dia kaya diumur 50 tahun, pada waktu fikiran tentang kematian sudah bermunculan, terus menerus itu. Disitulah adilnya Tuhan, di situ adilnya Allah, kita dikasih itu, dia dikasih kekayaan last minute. Dia dikasih kesempatan untuk menyaksikan hasil kerjanya tetapi tidak dikasih kesempatan untuk menikmatinya.
Nah, oleh karena itu orang di tingkat seperti itu cenderung lebih spiritualis dengan sendirinya. Alam yang
mengantarkan dia kesitu, begitu juga kita. Karena itu pemikiran itu harus lurus, supaya kita tidak bias, kita
membutuhkan instrumen ini untuk menghilangkan seluruh mawaniut tadayyun dalam diri manusia.
Ada pembasahan tentang ini bagus antum baca di bukunya Abbas Mahmud Al-Aqod, tentang Abu Bakar As-Shiddiq, Abaqoriyatu Abu Bakar As-Shiddiq. Di buku ini dibagian awal ada pembahasan tentang mawaniul islam, mengapa Abu Bakar itu berada di level nomor satu, dibahas dulu dengan pertanyaan terbalik. Apa sih hambatan orang itu untuk berislam? Apa hambatan orang berislam? Apa entry barrier orang berislam? Waktu dia bahas ini, dia jelaskan bahwa semua mawani’ ini, tidak ada dalam diri Abu Bakar, misalnya al-kibriya, itu tidak ada dalam diri Abu Bakar, dia berhasil melampaui itu semua.
Jadi fungsi kekuasaan yang kita cari ini adalah menghilangkan hambatan ini, itu persis juga dengan jihad fi sabilillah. Jadi ketika kita melakukan ekspansi pada suatu Negara, kita tidak ingin menundukkan orang dengan senjata, tetapi ingin menghilangkan mawaniu tadayyun yang salah satunya adalah at-thowagit. Thagut-thagut ini mencegah orang untuk beragama. Makanya Rasul mengatakan: “Annasu ala diini mulukihim”. Jadi kalau para muluk ini dihilangkan maka mawaniu tadaayun itu hilang, orang diberi kebebasan. Jadi waktu kita menguasai satu wilayah, kita kooptasi satu wilayah, setelah kita menaklukkan pasukannya, tidak dengan sendirinya semua orang harus masuk Islam. Itu tidak. Tujuan kita adalah menghilangkan mawaniul tadayyun, mawaniul Islam, apa hambatan orang kepada itu, kalau semuanya ini semua hilang, orang belum masuk Islam juga, itu sudah bukan tanggung jawab kita. Baru saat itu kita bisa bilang “Ala hal balaghtu” iya kan..ini antum perhatikan.. ini clear yah..!!
Kalau ini selesai kita masuk pada persoalan leverage to win.. (Ada komentar: bukan masalah clearnya, tapi yang menjadi inhiraf itu apa?). Dijawab: Masalah inhiraf itu terjadi di semua marhalah, bisa jadi karena pembelotan, misalnya begini: waktu kita berkuasa seperti itu, bisa jadi pembelokan, sebenarnya pembelokannya bisa dengan sederhana, waktu sarana menjadi tujuan, secara real itu tidak akan keluar dari itu semuanya, waktu kita mulai berfikir, bahwa kekuasaan ini adalah tujuan. Karena itu ukuran sukses kita adalah pertumbuhan ekonomi, tidak, itu ukuran sukses dipermukaan, tapi ukuran hakikinya sebarapa banyak orang menjadi beragama, dengan semua kesejahteraan itu.
Makanya saya menyebutkan waktu di Cibubur, bahwa cita-cita kita itu ada tiga: satu politik, yang kedua dakwah yang ketiga peradaban. Yang politik ini adalah memecahkan rekor partai-partai islam, mendapatkan satu share politik yang berwibawa: 20 %.
Jadi, karena itu share kita secara dakwah, kalau ditahapan ini, di tingkat ideologi ini, jika kita sudah berhasil
mengembangkan, menjadikan Islam ini menjadi pilihan publik, baru kita menang secara dakwah, dan itu dibuktikan dalam bentuk share partai-partai Islam secara keseluruhan. Bisakah sewaktu-waktu partai-partai Islam itu share, menimal 60%, digabung jadi satu, sekarangkan maksimum yang pernah ada dalam sejarah Indonesia, Cuma 45%, turun-turun jadi 38 %. Jadi secara politik kita bisa menang, makanya saya debat waktu itu dengan mas Tamim, apakah PKS bisa lebih besar dari Masyumi..? Bukan. Persoalan kita bukan disitu.. Masyumi menang 20 %, benar, Nasir jadi perdana menteri jelas, tapi setelah itu Masyumi kemana? Dan kenapa PNI yang masih punya pengikut yang lebih banyak? Dan kenapa PBB waktu mengklaim diri sebagai pewaris Masyumi ternyata, tetap saja akhirnya habis.
Jadi kita tidak bisa tentang angka-angka politik. Kita bicara tentang perimbangan kekuatan. Ini bukan angka tentang 20%, tetapi ini persoalan tentang “Man yaqudu al-mantiqoh” (siapa yang memimpin Negara), “man yaqudu daulah” (siapa yang memimpin negeri ini), siapa yang menggaet masyarakat secara keseluruhan. Kenapa ada banyak orang di negeri ini, begitu PKS muncul, tiba-tiba mereka datang dengan; ide Pancasila dan NKRI final, padahal keduanya juga tidak ada yang pertentangan dengan Islam. Tapi sesuatu yang harus kita fahami di sini bahwa; ini ada pengaruh yang luar biasa, begitu substansialnya dalam mengarahkan dan membentuk idologi publik. Ini celar yah??
Sekarang tentang reference to lead. Apa yang kita perlukan untuk memimpin? Reference apa yang kita perlukan? Sekarang saya mau ceritakan dulu sedikit, langkah realitas kita apa.
Kita ini jarang mempunyai kesadaran geografis. Tentang Indonesia. Orang pertama di negeri ini yang memberikan wawasan geografis dan juga kesadaran seperti namanya Gajah Mada. Kita baru punya satu kesadaran tentang satu eksistensi geografis yang namanya nusantara itu karena Gajah Mada. Tapi karena kita tidak membaca sesuatu tentang Gajah Mada umumnya kita tidak punya al-wa’yul geografi. Padahal unsur utama dalam peradaban itu adalah turab/tanah/ wilayah/teritori. Ada bagusnya antum membaca buku yang ditulis oleh Malik bin Nabi, judulnya “Miladul Mujtama” (Kelahiran Sebuah Masyarakat), dan yang kedua “Wijhatul Alam Islami”, setahu saya buku ini sudah diterjemahkan (Dunia Baru Islam). Unsur hardwarenya yang namanya peradaban itu tiga : al-ard/at-turab, wazzaman, wal insan, (tanah, waktu dan manusia). Quran ini kan software.
Kalau antum lihat lagi dalam sejarah Indonesia. Waktu imperialis datang ke Indonesia. Perjuangan itu sifatnya kedaerahan. Zamannya Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Cut Nya Dien, Pattimura dan seterusnya. Tapi kemudian muncul yang namanya kegelisahan politik, bahwa perlu ada pola baru dalam yang namanya perjuangan, yang menggabungkan kesadaran geografis ini dengan kesadaran politik, itulah namanya Budi Utomo dengan Syarekat Islam. Tetapi ini kemudian menjadi kesadaran yang konteknya lebih kuat lagi, setelah era Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda kalau antum lihat: Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Tanah Air. Itu gabungan antara kesadaran geografis, kesadaran teritorial, kesadaran sosiologis, bahasa. Indonesia ini kan punya 300 suku dan 300 bahasa. Dan dipilihnya Bahasa Indonesia itu sebagai bahasa, karena lebih sederhana dan lebih demokratis dibanding bahasa lain. Kenapa bukan Bahasa Jawa yang dipilih sebagai Bahasa Nasional.
Ada buku bagus yang boleh dibaca judulnya Collaps, disitu ada sedikit kisah tentang Polenesia “How China become Chinese” di situ, di pembahasan akhirnya ditulis tentang Polenesia.
Jadi Sumpah Pemuda itukan menggerakkan, menyatakan diri sebagai satu kesatuan yang utuh tetapi kontennya juga dibuat; ada geografisnya, ada teritorinya, ada bahasanya, dan juga konten politiknya yang namanya bangsa. Jadi karena bobotnya itulah Sumpah Pemuda itu menjadi satu moment yang sangat historis dalam sejarah Indonesia.
Sejarah pembentukan al-wa’yul wathani, di negeri kita itu antum lihat proses sejarah itu begitu, karena itu jarak antara sumpah pemuda dengan tahun 45 itu begitu menjadi lebih dekat.
Soekarno datang itu, di atas situasi yang sangat menguntungkan, karena dia melanjutkan proses itu. Tapi Soekarno itu, punya kesadaran yang mendalam tentang teritori yang namanya Indonesia ini. Dan juga punya kesadaran tentang struktur sosiologis tentang masyarakat Indonesia. Kalau antum baca buku “Bung Karno Menyambung Lidah Rakyat”.
Tsaqofah ini sudah harus antum miliki semuanya ikhwah sekalian. Supaya jangan ada yang mengatakan, bahwa PKS itu lebih hafal Sirah Nabawiyah daripada sejarah Negara Indonesia.
Soekarno menyadari yang namanya gagasan Megalomania dari Gajah Mada, dari gagasan yang namanya Nusantara itu, yang include sebenarnya Malaysia, Brunei dan Singapore. Itu satu kawasan, itu benar itu. Seharusnya kita berfirkirnya begitu, itu yang namanya wawasan teritori yang matang. Tapi kita ini umumnya itu tidak mempunyai kesadaran territorial yang bagus. Negeri ini ikhwah sekalian, penduduknya 230 juta sekarang, sama dengan total penduduk 22 negara Arab kalau dikumpul jadi satu. Jumlah penduduk dunia zaman Rasulullah hidup, itu kurang dari setengahnya dari penduduk Indonesia hari ini.
Zaman Rasulullah hidup itu penduduk dunia 100 juta orang, total. Umat Islam zaman Rasulullah itu yang masuk Islam, yang ikut hajatul wada itu hanya 100 ribu, sekitar 125 ribu di Rahiqil Makhtum itu disebutkan, antara itu. Jadi satu permil. Jadi kalau antum memimpin 230 juta, antum bisa membayangkan, itu lebih besar dari dunia zaman Rasulullah hidup.
Kita tidak menyadari kadang-kadang. Dan ini negara keempat terbesar di dunia, setelah China, India dan Amerika. Tiga negara ini sekarang menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia. Dan semua persyaratan yang dimiliki Indonesia ini, persyaratan untuk menjadi kekuatan ekonomi baru juga ada di negeri ini. Matahari ada gratis, tdiak semua Negara di dunia ini dapat jatah matahari sepanjang tahun, energi. Hujan, inilah lucunya Indonesia, bisa menyatu itu barang, air kan. Dan dua pertiga dari wilayah kita ini air. 6 juta KM2 negara Indonesia itu, 4 jutanya perairan. Dahsyat benar.
Jumlah manusianya, banyaknya ampun-ampun. Apalagi yang kita perlukan?? Sumber daya, semuanya ada. Jadi yang namanya syurutul hadlarah (syarat-syarat peradaban); al-turab, wazzaman, wal insan, itu semuanya ada. A Power semuanya ada. Jadi kita tidak punya alasan untuk menjadi tidak sejahtera. Dan di dunia Islam, kita Negara Islam No 1.
Tetapi inilah Negara Islam terbesar yang selama ini tidak pernah menjadi “The big brother”. Kita tidak pernah dianggap di dunia Islam itu sebagai The big brother.
Malaysia sekarang, itu maksimum kemajuannya. Penduduknya cuma 20-26 juta, diputar-putar kaya apa pertumbuhan ekonominya, sudah skala maksimumnya seperti itu. Singapore skala maksimum, sudah segitu. Tidak akan lebih dari itu. Makanya Singapore sekarang ini, berusaha bersaing berinvestasi di negara-negara jiran sebanyak-banyaknya. Dia sudah berlebihan. Hanya dengan itu caranya kalau dia mau jadi besar. Tapi ini rentan, yang begini-begini rentan, jika ada perang bahaya, hilang itu semua barang. Jadi potensi pertumbuhan Negara jiran itu demikian.
Tapi coba antum lihat Cina, semuanya juga ada disana. India semuanya juga ada disana. Itulah bedanya Singapore kan, bedanya antara mini market dan hypermarket. Sebanyak-banyaknya pengunjung mini market, ya tetap saja mini market. Ini masalahnya hypermarketnya yang sepi.
Jadi kita musti faham dulu Negara yang kita mau pimpin ini adalah Negara yang sangat besar, Negara benua. Jadi kita yang ditakdirkan hidup di negara ini sebenarnya, itu sama saja – kalau kita merujuk pada la yukallifullahu nafsan illa wus’aha mafhum mukhalafahnya itu kan adalah bahwa semua beban yang diberikan kepada kita, itu artinya kita punya kemampuan untuk memikulnya. Makanya teori sejarah itu ada yang namanya teori “at-tahaddi wal istijabahchallenge and a respon. Sumber dinamika sejarah itu dari situ, dan Allah memberikan kita itu, challenge (tantangan).
Karena, itu diperlukan untuk menghidupkan adrenalin. Tapi Allah tidak memberikan tantangan kepada kita melebihi kemampuan yang kita miliki, dibikin impas. Allah tidak kasih kita roti langsung. Dikasih tanah, dikasih air, kita tanam.
Coba kalau kita disuruh menciptakan tanah, itu diluar kemampuan kita. Disuruh menurunkan hujan, diluar
kemampuan kita, kita bisa bikin irigasi. Tapi kalau hujan tidak turun sama sekali, kan irigasinya kering juga. Jadi ada hal-hal yang diselesaikan oleh Allah sendiri. Tapi ada hal-hal yang disisakan untuk kita. Yang disisakan itu, diberikan, dibebankan sesuai dengan kemampuan akal kita untuk menyelesaikannya. Disitulah nilai at-tahaddi, tantangannya, challengenya. Karena sesuai dengan kemampuannya. Nah, kalau kita hidup di negara sebesar Indonesia ini artinya kita semua mempunyai kemampuan di dalam diri kita baik sebagai individu maupun sebagai bangsa dan termasuk juga sebagai harakah bahwa kita bisa memimpin negeri yang besar ini. Kenapa tidak ditakdirkan hidup di Dubai?? Dikasih yang besar sekalian, tapi supaya punya pikiran ini dulu..!! Fikiran sebagai bangsa besar, fikiran sebagai penduduk yang berasal dari sebuah negara besar. Itu dulu. Teritorialnya besar, sumber dayanya besar. Karena itu diperlukan pemimpin besar. Dan itu belum pernah ada di negeri ini.
Inilah sebuah pendahuluan dan setelah kita itu baru kita masuk ke persoalan setelah kita memahami realitas ktia…
Setelah kita merdeka, ikhwah sekalian. Di masa Soekarno, dan Soekarno datang dengan isu revolusi itu. Kita menghabiskan waktu 20 tahun pertama untuk konflik ideologi. Antum lihat sejarah Soekarno itu adalah sejarah konflik. Sebagian dari konflik itu berujung darah. Konflik segitiga antara Islam, nasionalis dan komunis, semuanya menggunakan kekerasan pada akhirnya. Wujud politk Islam itu ada pada Masyumi tapi wujud tentaranya, kekerasaannya ada pada DI. Di komunis, pada mulanya perjuangan ideologi, kebudayaan dan seterusnya, tapi ujungnya juga menggunakan pendekatan kekerasan. Makanya melakukan beberapa kali kudeta yang terkahir terjadi di Madiun pada tahun 65. Satu polanya gerilya, satu polanya kudeta militer. Tapi kaum nasionalis yang kemudian menang, diwakili tentara. Tapi ujungnya antum lihat, sejarah kita itu, 20 tahun pertama itu sejarahnya konflik. Berdarah-darah 20 tahun pertama.
Kita tidak tahu berapa orang yang dibunuh oleh komunis dan berapa orang komunis yang dibunuh oleh Orde Baru. Sama juga berapa banyak DI yang dibunuh oleh tentara Orde Baru, dan berapa banyak tentara Indonesia yang dibunuh oleh DI. Tetapi faktanya kita hari ini, satu tanah bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, tapi (konflik) 20 tahun pertama. Ini adalah era dimana ada demokrasi tetapi tidak ada kesejahteraan. Karena itu collaps.
Orde Baru datang dan membuat penyederhanaan, konflik ini kita akhiri, tidak ada konflik ideologi, tidak ada politik, kita butuh stabilitas, karena itu tentara diperkuat partai-partai disederhanakan, pembangunan kita lakukan, investasi luar kita datangkan, masyarakat kita didik, semua yang beraliran digabung jadi satu. PPP, Islam, simbolnya satu. Yang kiri-kiri dan PKI, (nasionalnya) digabung menjadi satu PDI. Nah, baru dimunculkan alternative ketiga namanya Golkar, tidak disebut partai karya, disebut golongan karya artinya jamaatul amal. Inikan, yang lain kerjanya bertengkar, kita bekerja.
Tapi ternyata itu ikhwah sekalian… 30 tahun kemudian, di atas semua kebaikan Orde Baru kepada kita. Kita ini kan produk Orde Baru semua, Saya lahir tahun 68, pas awal tahun Orde Baru membangun. Kita yang menikmati semua pendidikan yang baik yang tidak ada pada Orde Lama. Setelah kita menikmati semua kebaikan Orde Baru ini. Orde Baru ini kita akhiri. Karena Orde ini memberikan kita kesejahteraan tapi tidak memberikan kita kebebasan. Padahal kebebasan dan kesejahteraan, itu dua-duanya adalah hajat manusia. Jadi Orde Baru itu adalah era kesejahteraan tanpa demokrasi. Dan sekarang Malasyisa sedang menghadapi ini, pada beberapa waktu ke depan Malaysia akan masuk era 97 nya Indonesia.
Kita perlu bebas bicara, sama persis kita juga perlu makan. Sama persis 10 tahun setelah reformasi. Setelah kita sangat bebas bicara ternyata makan kita tidak terlalu bagus. Makanya dalam survey kemudian menyatakan, ternyata masyarakat lebih memilih Soeharto dan merupakan presiden yang paling disukai dari semua presiden. Yang kedua Soekarno. Makanya kalau reformasi ini tidak merupakan kesinambungan pada periode-periode sebelumnya. Maka reformasi ini pasti gagal, collaps, kita sebagai masyarakat bisa collaps, sebagai negara juga bisa collaps.
Kenapa ikhwah sekalian? Karena kalau ini sustainable secara historis, seharusnya reformasi itu bukanlah antitesa terhadap Orde Baru, sebab kesejahteraan pada Orde Baru itu tidak perlu kita hapus, yang kita mau hapus itu adalah dictatorshipnya. Dan itu sudah kita lakukan, dengan megeluarkan tentara dari percaturan politik. Pilar-pilar utama yang menyangga Orde Baru waktu itu kan ada tiga; Tentara, Golkar, Konglomerat.
Di politisi sama birokrat kita masukan disini, di Golkar, karena politisi dan Golkar itu satu paket. Tapi sekarang coba antum lihat.. !! Tentara sudah dikeluarkan dari percaturan Negara, Orde Baru hancur dan pilar-pillarnya kita gerogoti. Dan Golkar dari 76% suaranya pada tahun 97 (pemilu pada tahun 97) suara itu turun menjadi 20%, pada tahun 99 terdiskon langsung kekuatannya. Sekarang senaik-naiknya dia tidak akan lebih dari 30%, itupun rasanya tidak akan naik dari 25 di tahun 2009 nanti.
Diskonnya, karena tentara sudah tereliminasi, keluar dari percaturan politik. Tapi pengusaha. 10 tahun terakhir ini, ada ga pengusaha yang lahir diluar dari pengusaha yang sudah eksis?. Kita memang bisa mengganggu eksistensi para konglemarat Orde Baru. Semuanya bisa kita ganggu. Tapi faktanya sebagaimana yang pelajari dalam kaidah dakwah itu “Alhadamu daiman ashalu minal bina” (menghancurkan itu selalu lebih mudah daripada membangun). Orde Baru pergi, tapi para jaringan konglomeratnya ternyata tidak pergi-pergi. Dia menguasai panggungnya sendiri. Dan tidak ada panggung baru di panggung itu, Tidak ada dari daftar yang kaya di indonseia ini, ada yang keluar dari daftar yang kaya sebelum-sebelumnya?? Kan itu-itu juga kan? Bakrie besar dimana? Arifin Panigoro, Jarum, Sampoena, Salim semuanya besar di Orde Baru. Pasar itu adalah teritori sendiri.
Jadi sementara TNI terdemorelisasi begitu dahsyat, Golkar terdiskon begitu besar. Pasar, itu tidak terdistorsi sama sekali. Dan 10 tahun setelah era reformasi ini, ga ada perubahan. Tetapi yang menarik dari era reformasi ini adalah sistem politik. Inilah sisi yang kita ambil dari Orde Lama, demokrasinya. Tapi dari sisi kesejahteraan yang belum kita ambil dari Orde Baru. Seharusnya era ini adalah era sintesa, antara Orde Lama dan Orde Baru, kita membutuhkan kebebasan. Tetapi seperti kata Thomas Jefferson: “Demokrasi itu memuaskan hati masyarakat tapi tidak menyelesaikan persoalan mereka”. Karena itu cita-cita persoalan Indonesia ke depan adalah persoalan menemukan titik equilibrium maksimum, titik keseimbangan maksimum antara demokrasi dan kesejahteraan. Itu persoalan Indonesia ke depan. Nah sekarang di dalam situasi peta seperti ini ada tiga panggung yang eksis sekarang. Panggung utama ini yang sering saya sebut dengan segi tiga kekuasaan: Yang satu namanya Negara. Yang satu lagi namanya civil society, (dan) yang satu lagi namanya pasar atau market.
Jadi ikhwah sekalian…
Negara ini, tidak lagi berdiri sendiri, walaupun ia adalah organisasi terbesar yang mengatur ini (civil society) dan mengatur ini (market). Tapi otoritasnya itu dan kapasitasnya tidak selalu besar. Karena pasar ini juga tidak berdiri sendiri.
Lebih berkuasa mana dalam mengatur pasar, Negara RI dalam hal ini Menteri Keuangan atau WTO?? WTO. Jadi ada organisasi di atas Negara, yang mengatur Negara-negara itu. Begitu juga civil society. Pada akhir 90-an. Setiap tahunnya ada 3 milyar orang yang naik pesawat dalam catatan Newsweek. Sekarang kan lebih banyak. Apalagi di era transportasi murah sekarang itu, Sekarang lebih banyak orang. Artinya apa? Ini artinya antum setuju atau tidak ini adalah era borderless terri. Gak ada lagi batasan dari segi jarak. Tapi telekomunikasi itu menghilangkan jarak waktu. Dan 5 atau 10 tahun yang akan datang, tren telekomunikasi itu nanti, ikhwah sekalian..!! Ini menurut ahlinya, saya konsultasi dan ngobrol-ngobrol; nanti pembicaraan lokal dan internasional itu akan sama. Dan provider telekomunikasi, perusahaan seluler sekarang itu akan mulai turun. Sama semuanya itu. Sekarang sudah mulai sebenarnya. Jadi antum bisa membayangkan negara tidak bisa membatasi lagi orang saling berkomunikasi. Pelan-pelan nanti transaksi-transaksi pasar itu seluruhnya akan dilakukan melalui internet. Dan sekarang bagaimana caranya pemerintah mengambil pajak dari transaksi di internet.
Civil society, itu artinya apa ikhwah sekalian... Ada kejadian-kejadian kecil yang terjadi disini itu kedengaran secara global, contohnya pembunuhan Munir, bunyi suaranya sampai ke PBB, sampai ke Kongres Amerika itu. Capee.. aja pemerintah menjawab pertanyaan. Itu civil society
Oleh karena itu ikhwah sekalian, jika kita hanya tumbuh kesini (Negara), tidak menguasai ini dengan baik (civil society) atau tidak menguasai ini dengan baik (market) kita tidak bisa mengendalikan hidup. Inilah tiga distribusi kekuasaan utama, tiga kekuatan utama di Negara kita. Bagaimana kekuatan pengaruh antara masing-masing ini? Itu tergantung dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu periode ke periode yang lain.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

PETA MEDAN JOHOR

PETA MEDAN JOHOR

REAL COUNT PILGUBSU 2018

REAL COUNT PILGUBSU 2018
DPC PKS Medan Johor by Zul Afkar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DPC PKS Medan Johor - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Zoel Afkar MK