Tulisan Anis Matta #002:
Kenapa kita ingin memimpin, ikhwah sekalian?? Karena
insdustri kita ini (industri kita sebagai harakah) adalah sina’atul
hayah – seperti yang sudah-sudah saya sampaikan sebelumnya.
Bismillahirrahmanir rahim.Uhayyikum jamian bitahiyyatil Islam
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Alhamdulillah siang hari ini kita bertemu
kembali, dan pada kesempatan ini saya akan mencoba share pada antum semua
mengenai gagasan atau ide-ide besar di TPPN ini.
Ikhwah sekalian, saya ingin memulai – saya
tidak memakai in focus karena saya mau menulis (di whiteboard) –
ke persoalan inti kita sebagai harakah.
Persoalan inti kita sebagai harakah ini ada dua (waktu kita mulai
masuk ke demokrasi, bikin partai dan mau memimpin negara):
1. Persoalan yang
fundamental.
2. Persoalan yang bersifat teknis.
Persoalan yang fundamental itu adalah menyangkut masalah leverage to lead sedangkan
persoalan yang menyangkut teknis itu adalah strategy to win.
Jadi yang masalah leverage
to lead itu adalah menyangkut syurutul qiyadah (syarat-syarat kepemimpinan) yang dituntut
kepada kita, atau kualitas-kualitas yang diperlukan jika kita ingin memimpin
negara. Sedangkan yang teknis itu
adalah bagaimana memenangkan pemilu.
Yang dua ini bisa berjalan seiring, bisa juga tidak. Contoh yang
tidak seiring itu misalnya PKB: sempat punya presiden, tapi cuma bertahan 21
bulan, setelah itu selesai. Bisa disebut partai bisa juga tidak, tapi ICMI itu
adalah satu kendaraan besar bagi Habibie, diluar Golkar, tapi nyatanya Habibie
cuma bertahan 18 bulan. Begitu juga PDIP, justru ketika terdzalimi suaranya
naik 34%, ketika berkuasa suaranya menurun menjadi 19%.
Jadi bukan karena kita menang pemilu maka kita memimpin. Itu harus
kita bedakan. Bukan karena kita menang pemilu maka kita memimpin, pemimpin itu
adalah leverage.
Kenapa kita ingin memimpin, ikhwah sekalian?? Karena
insdustri kita ini (industri kita sebagai harakah) adalah sina’atul
hayah – seperti yang sudah-sudah saya sampaikan sebelumnya. Saya tidak
tahu, bukunya sudah diterjemahkan atau belum?? Ini penting antum baca
buku ini, (live making, sina’atul hayah), bukunya Abu Ammar, Muhammad
Al-Rasyid.
Jadi, oleh karena itu kita mempunyai tugas merekonstruksi kembali kehidupan kita secara keseluruhan. Dan untuk
menjalankan fungsi besar ini kita membutuhkan instrumen yang juga besar,
instrumen itu namanya kekuasaan, negara. Kenapa kita butuh negara ikhwah sekalian??
Karena sekarang kita hidup di era institusi, dan institusi yang paling besar di
dunia ini – setidak-tidaknya dalam waktu 500 tahun terakhir ini – adalah
negara. Tidak ada organisasi paling besar selain negara dalam 500 tahun
terakhir. Walaupun organisasi ini (negara) dalam beberapa tahun ke depan, juga
sedang menghadapi persoalan yang sangat eksistensial.
Saya menganjurkan – karena antum yang banyak yang bisa
Bahasa Inggris disini – membaca buku yang ditulis oleh Peter R. Gardner: “Managing
The Next Society”, disini ada pembahasan yang menarik kaitannya dengan
posisi yang namanya “Nation State”, Negara Bangsa itu, dalam era
globalisasi, sejauh mana akan survive dimasa mendatang; baik karena
pengaruh perkembangan teknologi maupun karena pengaruh rasionalitas ekonomi.
Jadi kita membutuhkan instrumen besar itu, kalau kita ingin memimpin.
Sampai disini kita tidak punya perdebatan. Perdebatan kita adalah tentang
kapasitas apa yang diperlukan untuk mengelola itu semua. Itulah kepemimpinan.
Dan inilah yang kita inginkan. Oleh karena itu persoalan fundamental ini harus
kita pisahkan dulu dari persoalan yang teknis, tentang bagaimana memenangkan
pemilu. Sebab persoalan memenangkan pemilu itu mostly adalah persoalan
komunikasi. Fi muhzamihi, ahya itu adalah pada masalah komunikasi.
Image waktu kita muncul pertama kali
dengan membawa citra bahwa PKS itu adalah partai yang besih dan peduli pada
rakyat. Di image ini terserap dan memberikan kita ruang yang besar di
tengah masyarakat, tapi waktu kita masuk dalam pemerintahan kita tidak perform.
Jadi strategy to win itu adalah persoalan how to send, tetapi
persoalan leverage to win itu adalah persoalan how to deliver bagaimana
mendelivery ide-ide itu menjadi suatu kenyataan. Dan itu membutuhkan
kualitas tertentu dari kita. Tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Kalau antum lihat, ikhwah sekalian, dalam
literatur-literatur ikhwan – saya ini senang buka ini karena antum orang
kaderisasi – setidak-tidaknya dalam 20 tahun terakhir ini, persoalan inilah
yang tidak terbahas secara mendetil. Sebagian besar literatur-literatur
pemikiran politik ikhwan itu masih ada di level menyelesaikan terminologi.
Kalau antum baca bukunya Yusuf Qordhowi tentang fiqh daulah itu
semuanya menyelesaikan masalah persoalan-persoalan basic/mafahim: Apa
sikap kita terhadap demokrasi. Apa posisi perempuan dalam percaturan politik.
Apa sikap kita terhadap ta’addudul ahzab. Sistem multi partai. Apa sikap
kita tentang tahaluf (aliansi) politik, kita baru menyelesaikan
perkara-perkara terminologi. Dan itupun perdebatannya panjang. Kalau antum lihat
buku yang ditulis oleh DR. Abul Hamid Al-Ghazali, judulnya : “Asasiyat
Masyru al-Islam” itu belum keluar dari kerangka itu semua.
Jadi harakah islamiyah secara keseluruhannya, belum keluar
dari persoalan-persoalan fikriyah itu tadi, kepada persoalan-persoalan
strategis. Persoalan-persoalan strategis dalam pengertian bagaimana kita perform
sebagai sebuah eksistensi; baik sebagai harakah nanti maupun sebagai
daulah. Itu yang belum terbahas.
Tapi di sini ada bias besar dan ini harus kita waspadai dari awal.
Bahwa instrumen negara atau kekuasaan yang diperlukan ini pada akhirnya
tetaplah sebagai wasilah. Kenapa ikhwah sekalian? Karena
kesejahteraan itu bukanlah tujuan. Keadilan itu juga bukanlah tujuan. Tetapi
(keduanya adalah) sesuatu yang diperlukan oleh manusia, supaya naik ke level
kebutuhan yang lebih spiritual, setelah persoalan-persoalan basic dia
sebagai manusia selesai. Artinya ini apa? Manusia lebih kondusif secara
spiritual untuk taat beragama ketika dia tidak lagi memikirkan persoalan fisik
yang basic: persoalan makannya selesai, persoalan minumnya selesai,
pakaiannya selesai, tempat tinggalnya selesai, kesehatannya selesai. Begitu ini
semua selesai, pada umumnya, – sekalipun tidak selalu begitu,karena
kadang-kadang dalam keadaan miskin orang lebih dekat kepada Tuhan – kebutuhan
spiritual itu muncul lebih beragam, lebih natural munculnya. Nah oleh karena
itu kita perlu menghilangkan hambatan-hambatan itu semua, yang disebut dengan mawaniut
tadayyun, hambatan-hambatan seseorang untuk menjadi religius. Rasulullah
SAW mengatakan: “Kaadal
faqru anyakuna kufran”.
Jumlah orang miskin yang lari ke masjid dibanding yang lari jadi pengemis, jadi
pelacur atau yang lari jadi perampok, lebih banyak yang mana?? Artinya (bila)
manusia-manusia itu dalam kondisi fisik tertekan pilihan-pilihannya itu banyak,
antara positif dan negatif, tetapi umumnya mereka itu lebih cenderung memilih
yang negatif, karena efek keterpaksaan itu tadi. Tetapi ketika orang itu kaya,
pilihannya juga sama banyaknya dengan orang yang miskin, pilihan positif dan
negatif, tapi orang kan biasanya yang kaya kalau dia bergerak dari awal,
katakanlah dia kaya diumur 50 tahun, pada waktu fikiran tentang kematian sudah
bermunculan, terus menerus itu. Disitulah adilnya Tuhan, di situ adilnya Allah,
kita dikasih itu, dia dikasih kekayaan last minute. Dia dikasih
kesempatan untuk menyaksikan hasil kerjanya tetapi tidak dikasih kesempatan
untuk menikmatinya.
Nah, oleh karena itu orang di tingkat seperti itu cenderung lebih
spiritualis dengan sendirinya. Alam yang
mengantarkan dia kesitu, begitu juga kita. Karena itu
pemikiran itu harus lurus, supaya kita tidak bias, kita
membutuhkan instrumen ini untuk menghilangkan seluruh mawaniut
tadayyun dalam diri manusia.
Ada pembasahan tentang ini bagus antum baca di bukunya
Abbas Mahmud Al-Aqod, tentang Abu Bakar As-Shiddiq, Abaqoriyatu Abu
Bakar As-Shiddiq. Di buku ini dibagian awal ada pembahasan tentang mawaniul
islam, mengapa Abu Bakar itu berada di level nomor satu, dibahas dulu dengan
pertanyaan terbalik. Apa sih hambatan orang itu untuk berislam? Apa hambatan
orang berislam? Apa entry barrier orang berislam? Waktu dia bahas ini,
dia jelaskan bahwa semua mawani’ ini, tidak ada dalam diri Abu Bakar,
misalnya al-kibriya, itu tidak ada dalam diri Abu Bakar, dia berhasil melampaui
itu semua.
Jadi fungsi kekuasaan yang kita cari ini adalah menghilangkan
hambatan ini, itu persis juga dengan jihad fi sabilillah. Jadi ketika
kita melakukan ekspansi pada suatu Negara, kita tidak ingin menundukkan orang
dengan senjata, tetapi ingin menghilangkan mawaniu tadayyun yang salah
satunya adalah at-thowagit. Thagut-thagut ini mencegah orang untuk
beragama. Makanya Rasul mengatakan: “Annasu ala diini mulukihim”. Jadi
kalau para muluk ini dihilangkan maka mawaniu tadaayun itu
hilang, orang diberi kebebasan. Jadi waktu kita menguasai satu wilayah, kita
kooptasi satu wilayah, setelah kita menaklukkan pasukannya, tidak dengan
sendirinya semua orang harus masuk Islam. Itu tidak. Tujuan kita adalah
menghilangkan mawaniul tadayyun, mawaniul Islam, apa hambatan
orang kepada itu, kalau semuanya ini semua hilang, orang belum masuk Islam
juga, itu sudah bukan tanggung jawab kita. Baru saat itu kita bisa bilang “Ala
hal balaghtu” iya kan..ini antum perhatikan.. ini clear yah..!!
Kalau ini selesai kita masuk pada persoalan leverage to win..
(Ada komentar: bukan masalah clearnya, tapi yang menjadi inhiraf itu
apa?). Dijawab: Masalah inhiraf itu terjadi di semua marhalah,
bisa jadi karena pembelotan, misalnya begini: waktu kita berkuasa seperti itu,
bisa jadi pembelokan, sebenarnya pembelokannya bisa dengan sederhana, waktu
sarana menjadi tujuan, secara real itu tidak akan keluar dari itu semuanya,
waktu kita mulai berfikir, bahwa kekuasaan ini adalah tujuan. Karena itu ukuran
sukses kita adalah pertumbuhan ekonomi, tidak, itu ukuran sukses dipermukaan,
tapi ukuran hakikinya sebarapa banyak orang menjadi beragama, dengan semua
kesejahteraan itu.
Makanya saya menyebutkan waktu di Cibubur, bahwa cita-cita kita itu ada tiga: satu politik, yang kedua dakwah yang ketiga peradaban. Yang politik ini adalah memecahkan rekor partai-partai
islam, mendapatkan satu share politik yang berwibawa: 20 %.
Jadi, karena itu share kita secara dakwah, kalau ditahapan
ini, di tingkat ideologi ini, jika kita sudah berhasil
mengembangkan, menjadikan Islam ini menjadi pilihan
publik, baru kita menang secara dakwah, dan itu dibuktikan dalam bentuk share
partai-partai Islam secara keseluruhan. Bisakah sewaktu-waktu partai-partai
Islam itu share, menimal 60%, digabung jadi satu, sekarangkan maksimum
yang pernah ada dalam sejarah Indonesia, Cuma 45%, turun-turun jadi 38 %. Jadi
secara politik kita bisa menang, makanya saya debat waktu itu dengan mas Tamim,
apakah PKS bisa lebih besar dari Masyumi..? Bukan. Persoalan kita bukan
disitu.. Masyumi menang 20 %, benar, Nasir jadi perdana menteri jelas, tapi
setelah itu Masyumi kemana? Dan kenapa PNI yang masih punya pengikut yang lebih
banyak? Dan kenapa PBB waktu mengklaim diri sebagai pewaris Masyumi ternyata,
tetap saja akhirnya habis.
Jadi kita tidak bisa tentang angka-angka politik. Kita bicara
tentang perimbangan kekuatan. Ini bukan angka tentang 20%, tetapi ini persoalan
tentang “Man yaqudu al-mantiqoh” (siapa yang memimpin Negara), “man
yaqudu daulah” (siapa yang memimpin negeri ini), siapa yang menggaet masyarakat
secara keseluruhan. Kenapa ada banyak orang di negeri ini, begitu PKS muncul,
tiba-tiba mereka datang dengan; ide Pancasila dan NKRI final, padahal keduanya
juga tidak ada yang pertentangan dengan Islam. Tapi sesuatu yang harus kita
fahami di sini bahwa; ini ada pengaruh yang luar biasa, begitu substansialnya
dalam mengarahkan dan membentuk idologi publik. Ini celar yah??
Sekarang tentang reference to lead. Apa yang kita perlukan
untuk memimpin? Reference apa yang kita perlukan? Sekarang saya mau ceritakan
dulu sedikit, langkah realitas kita apa.
Kita ini jarang mempunyai kesadaran geografis. Tentang Indonesia.
Orang pertama di negeri ini yang memberikan wawasan geografis dan juga
kesadaran seperti namanya Gajah Mada. Kita baru punya satu kesadaran tentang
satu eksistensi geografis yang namanya nusantara itu karena Gajah Mada. Tapi
karena kita tidak membaca sesuatu tentang Gajah Mada umumnya kita tidak punya al-wa’yul
geografi. Padahal unsur utama dalam peradaban itu adalah turab/tanah/
wilayah/teritori. Ada bagusnya antum membaca buku yang ditulis oleh Malik bin
Nabi, judulnya “Miladul Mujtama” (Kelahiran Sebuah Masyarakat), dan yang
kedua “Wijhatul Alam Islami”, setahu saya buku ini sudah diterjemahkan
(Dunia Baru Islam). Unsur hardwarenya yang namanya peradaban itu tiga : al-ard/at-turab,
wazzaman, wal insan, (tanah, waktu dan manusia). Quran ini kan software.
Kalau antum lihat lagi dalam sejarah Indonesia. Waktu
imperialis datang ke Indonesia. Perjuangan itu sifatnya kedaerahan. Zamannya
Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Cut Nya Dien, Pattimura dan
seterusnya. Tapi kemudian muncul yang namanya kegelisahan politik, bahwa perlu
ada pola baru dalam yang namanya perjuangan, yang menggabungkan kesadaran
geografis ini dengan kesadaran politik, itulah namanya Budi Utomo dengan
Syarekat Islam. Tetapi ini kemudian menjadi kesadaran yang konteknya lebih kuat
lagi, setelah era Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda kalau antum lihat: Satu
Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Tanah Air. Itu gabungan antara kesadaran
geografis, kesadaran teritorial, kesadaran sosiologis, bahasa. Indonesia ini
kan punya 300 suku dan 300 bahasa. Dan dipilihnya Bahasa Indonesia itu sebagai
bahasa, karena lebih sederhana dan lebih demokratis dibanding bahasa lain.
Kenapa bukan Bahasa Jawa yang dipilih sebagai Bahasa Nasional.
Ada buku bagus yang boleh dibaca judulnya Collaps, disitu
ada sedikit kisah tentang Polenesia “How China become Chinese” di situ,
di pembahasan akhirnya ditulis tentang Polenesia.
Jadi Sumpah Pemuda itukan menggerakkan, menyatakan diri sebagai
satu kesatuan yang utuh tetapi kontennya juga dibuat; ada geografisnya, ada
teritorinya, ada bahasanya, dan juga konten politiknya yang namanya bangsa.
Jadi karena bobotnya itulah Sumpah Pemuda itu menjadi satu moment yang sangat
historis dalam sejarah Indonesia.
Sejarah pembentukan al-wa’yul wathani, di negeri kita itu antum
lihat proses sejarah itu begitu, karena itu jarak antara sumpah pemuda
dengan tahun 45 itu begitu menjadi lebih dekat.
Soekarno datang itu, di atas situasi yang sangat menguntungkan,
karena dia melanjutkan proses itu. Tapi Soekarno itu, punya kesadaran yang
mendalam tentang teritori yang namanya Indonesia ini. Dan juga punya kesadaran
tentang struktur sosiologis tentang masyarakat Indonesia. Kalau antum baca
buku “Bung Karno Menyambung Lidah Rakyat”.
Tsaqofah ini sudah harus antum miliki
semuanya ikhwah sekalian. Supaya jangan ada yang mengatakan, bahwa PKS
itu lebih hafal Sirah Nabawiyah daripada sejarah Negara Indonesia.
Soekarno menyadari yang namanya gagasan Megalomania dari Gajah
Mada, dari gagasan yang namanya Nusantara itu, yang include sebenarnya
Malaysia, Brunei dan Singapore. Itu satu kawasan, itu benar itu. Seharusnya
kita berfirkirnya begitu, itu yang namanya wawasan teritori yang matang. Tapi
kita ini umumnya itu tidak mempunyai kesadaran territorial yang bagus. Negeri
ini ikhwah sekalian, penduduknya 230 juta sekarang, sama dengan total penduduk
22 negara Arab kalau dikumpul jadi satu. Jumlah penduduk dunia zaman Rasulullah
hidup, itu kurang dari setengahnya dari penduduk Indonesia hari ini.
Zaman Rasulullah hidup itu penduduk dunia 100 juta orang, total.
Umat Islam zaman Rasulullah itu yang masuk Islam, yang ikut hajatul wada itu
hanya 100 ribu, sekitar 125 ribu di Rahiqil Makhtum itu disebutkan, antara
itu. Jadi satu permil. Jadi kalau antum memimpin 230 juta, antum bisa
membayangkan, itu lebih besar dari dunia zaman Rasulullah hidup.
Kita tidak menyadari kadang-kadang. Dan ini negara keempat
terbesar di dunia, setelah China, India dan Amerika. Tiga negara ini sekarang
menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia. Dan semua persyaratan yang dimiliki
Indonesia ini, persyaratan untuk menjadi kekuatan ekonomi baru juga ada di
negeri ini. Matahari ada gratis, tdiak semua Negara di dunia ini dapat jatah
matahari sepanjang tahun, energi. Hujan, inilah lucunya Indonesia, bisa menyatu
itu barang, air kan. Dan dua pertiga dari wilayah kita ini air. 6 juta KM2
negara Indonesia itu, 4 jutanya perairan. Dahsyat benar.
Jumlah manusianya, banyaknya ampun-ampun. Apalagi yang kita
perlukan?? Sumber daya, semuanya ada. Jadi yang namanya syurutul hadlarah (syarat-syarat
peradaban); al-turab, wazzaman, wal insan, itu semuanya
ada. A Power semuanya ada. Jadi kita tidak punya alasan untuk menjadi
tidak sejahtera. Dan di dunia Islam, kita Negara Islam No 1.
Tetapi inilah Negara Islam terbesar yang selama ini tidak pernah
menjadi “The big brother”. Kita tidak pernah dianggap di dunia Islam itu
sebagai The big brother.
Malaysia sekarang, itu maksimum kemajuannya. Penduduknya cuma 20-26
juta, diputar-putar kaya apa pertumbuhan ekonominya, sudah skala maksimumnya
seperti itu. Singapore skala maksimum, sudah segitu. Tidak akan lebih dari itu.
Makanya Singapore sekarang ini, berusaha bersaing berinvestasi di negara-negara
jiran sebanyak-banyaknya. Dia sudah berlebihan. Hanya dengan itu caranya kalau
dia mau jadi besar. Tapi ini rentan, yang begini-begini rentan, jika ada perang
bahaya, hilang itu semua barang. Jadi potensi pertumbuhan Negara jiran itu
demikian.
Tapi coba antum lihat Cina, semuanya juga ada disana. India
semuanya juga ada disana. Itulah bedanya Singapore kan, bedanya antara mini
market dan hypermarket. Sebanyak-banyaknya pengunjung mini market, ya tetap
saja mini market. Ini masalahnya hypermarketnya yang sepi.
Jadi kita musti faham dulu Negara yang kita mau pimpin ini adalah
Negara yang sangat besar, Negara benua. Jadi kita yang ditakdirkan hidup di
negara ini sebenarnya, itu sama saja – kalau kita merujuk pada la
yukallifullahu nafsan illa wus’aha – mafhum mukhalafahnya itu kan
adalah bahwa semua beban yang diberikan kepada kita, itu artinya kita punya
kemampuan untuk memikulnya. Makanya teori sejarah itu ada yang namanya teori “at-tahaddi
wal istijabah” challenge and a respon. Sumber dinamika sejarah itu
dari situ, dan Allah memberikan kita itu, challenge (tantangan).
Karena, itu diperlukan untuk menghidupkan adrenalin. Tapi Allah
tidak memberikan tantangan kepada kita melebihi kemampuan yang kita miliki,
dibikin impas. Allah tidak kasih kita roti langsung. Dikasih tanah, dikasih
air, kita tanam.
Coba kalau kita disuruh menciptakan tanah, itu diluar kemampuan
kita. Disuruh menurunkan hujan, diluar
kemampuan kita, kita bisa bikin irigasi. Tapi kalau
hujan tidak turun sama sekali, kan irigasinya kering juga. Jadi ada hal-hal
yang diselesaikan oleh Allah sendiri. Tapi ada hal-hal yang disisakan untuk
kita. Yang disisakan itu, diberikan, dibebankan sesuai dengan kemampuan akal
kita untuk menyelesaikannya. Disitulah nilai at-tahaddi, tantangannya, challengenya. Karena sesuai dengan
kemampuannya. Nah, kalau kita hidup di negara sebesar Indonesia ini artinya
kita semua mempunyai kemampuan di dalam diri kita baik sebagai individu maupun
sebagai bangsa dan termasuk juga sebagai harakah bahwa kita bisa
memimpin negeri yang besar ini. Kenapa tidak ditakdirkan hidup di Dubai??
Dikasih yang besar sekalian, tapi supaya punya pikiran ini dulu..!! Fikiran
sebagai bangsa besar, fikiran sebagai penduduk yang berasal dari sebuah negara
besar. Itu dulu. Teritorialnya besar, sumber dayanya besar. Karena itu
diperlukan pemimpin besar. Dan itu belum pernah ada di negeri ini.
Inilah sebuah pendahuluan dan setelah kita itu baru kita masuk ke
persoalan setelah kita memahami realitas ktia…
Setelah kita merdeka, ikhwah sekalian. Di masa Soekarno,
dan Soekarno datang dengan isu revolusi itu. Kita menghabiskan waktu 20 tahun
pertama untuk konflik ideologi. Antum lihat sejarah Soekarno itu adalah
sejarah konflik. Sebagian dari konflik itu berujung darah. Konflik segitiga
antara Islam, nasionalis dan komunis, semuanya menggunakan kekerasan pada
akhirnya. Wujud politk Islam itu ada pada Masyumi tapi wujud tentaranya, kekerasaannya
ada pada DI. Di komunis, pada mulanya perjuangan ideologi, kebudayaan dan
seterusnya, tapi ujungnya juga menggunakan pendekatan kekerasan. Makanya
melakukan beberapa kali kudeta yang terkahir terjadi di Madiun pada tahun 65.
Satu polanya gerilya, satu polanya kudeta militer. Tapi kaum nasionalis yang
kemudian menang, diwakili tentara. Tapi ujungnya antum lihat, sejarah
kita itu, 20 tahun pertama itu sejarahnya konflik. Berdarah-darah 20 tahun
pertama.
Kita tidak tahu berapa orang yang dibunuh oleh komunis dan berapa
orang komunis yang dibunuh oleh Orde Baru. Sama juga berapa banyak DI yang dibunuh
oleh tentara Orde Baru, dan berapa banyak tentara Indonesia yang dibunuh oleh
DI. Tetapi faktanya kita hari ini, satu tanah bangsa, satu tanah air dan satu
bahasa, tapi (konflik) 20 tahun pertama. Ini adalah era dimana ada demokrasi
tetapi tidak ada kesejahteraan. Karena itu collaps.
Orde Baru datang dan membuat penyederhanaan, konflik ini kita
akhiri, tidak ada konflik ideologi, tidak ada politik, kita butuh stabilitas,
karena itu tentara diperkuat partai-partai disederhanakan, pembangunan kita
lakukan, investasi luar kita datangkan, masyarakat kita didik, semua yang
beraliran digabung jadi satu. PPP, Islam, simbolnya satu. Yang kiri-kiri dan
PKI, (nasionalnya) digabung menjadi satu PDI. Nah, baru dimunculkan alternative
ketiga namanya Golkar, tidak disebut partai karya, disebut golongan karya
artinya jamaatul amal. Inikan, yang lain kerjanya bertengkar, kita bekerja.
Tapi ternyata itu ikhwah sekalian… 30 tahun kemudian, di
atas semua kebaikan Orde Baru kepada kita. Kita ini kan produk Orde Baru semua,
Saya lahir tahun 68, pas awal tahun Orde Baru membangun. Kita yang menikmati
semua pendidikan yang baik yang tidak ada pada Orde Lama. Setelah kita
menikmati semua kebaikan Orde Baru ini. Orde Baru ini kita akhiri. Karena Orde
ini memberikan kita kesejahteraan tapi tidak memberikan kita kebebasan. Padahal
kebebasan dan kesejahteraan, itu dua-duanya adalah hajat manusia. Jadi Orde
Baru itu adalah era kesejahteraan tanpa demokrasi. Dan sekarang Malasyisa
sedang menghadapi ini, pada beberapa waktu ke depan Malaysia akan masuk era 97
nya Indonesia.
Kita perlu bebas bicara, sama persis kita juga perlu makan. Sama
persis 10 tahun setelah reformasi. Setelah kita sangat bebas bicara ternyata
makan kita tidak terlalu bagus. Makanya dalam survey kemudian menyatakan,
ternyata masyarakat lebih memilih Soeharto dan merupakan presiden yang paling
disukai dari semua presiden. Yang kedua Soekarno. Makanya kalau reformasi ini
tidak merupakan kesinambungan pada periode-periode sebelumnya. Maka reformasi
ini pasti gagal, collaps, kita sebagai masyarakat bisa collaps,
sebagai negara juga bisa collaps.
Kenapa ikhwah sekalian? Karena kalau ini sustainable secara
historis, seharusnya reformasi itu bukanlah antitesa terhadap Orde Baru, sebab
kesejahteraan pada Orde Baru itu tidak perlu kita hapus, yang kita mau hapus
itu adalah dictatorshipnya. Dan itu sudah kita lakukan, dengan
megeluarkan tentara dari percaturan politik. Pilar-pilar utama yang menyangga
Orde Baru waktu itu kan ada tiga; Tentara, Golkar, Konglomerat.
Di politisi sama birokrat kita masukan disini, di Golkar, karena
politisi dan Golkar itu satu paket. Tapi sekarang coba antum lihat.. !!
Tentara sudah dikeluarkan dari percaturan Negara, Orde Baru hancur dan
pilar-pillarnya kita gerogoti. Dan Golkar dari 76% suaranya pada tahun 97
(pemilu pada tahun 97) suara itu turun menjadi 20%, pada tahun 99 terdiskon
langsung kekuatannya. Sekarang senaik-naiknya dia tidak akan lebih dari 30%,
itupun rasanya tidak akan naik dari 25 di tahun 2009 nanti.
Diskonnya, karena tentara sudah tereliminasi, keluar dari
percaturan politik. Tapi pengusaha. 10 tahun terakhir ini, ada ga pengusaha
yang lahir diluar dari pengusaha yang sudah eksis?. Kita memang bisa mengganggu
eksistensi para konglemarat Orde Baru. Semuanya bisa kita ganggu. Tapi faktanya
sebagaimana yang pelajari dalam kaidah dakwah itu “Alhadamu daiman ashalu
minal bina” (menghancurkan itu selalu lebih mudah daripada membangun). Orde
Baru pergi, tapi para jaringan konglomeratnya ternyata tidak pergi-pergi. Dia
menguasai panggungnya sendiri. Dan tidak ada panggung baru di panggung itu,
Tidak ada dari daftar yang kaya di indonseia ini, ada yang keluar dari daftar
yang kaya sebelum-sebelumnya?? Kan itu-itu juga kan? Bakrie besar dimana?
Arifin Panigoro, Jarum, Sampoena, Salim semuanya besar di Orde Baru. Pasar itu
adalah teritori sendiri.
Jadi sementara TNI terdemorelisasi begitu dahsyat, Golkar
terdiskon begitu besar. Pasar, itu tidak terdistorsi sama sekali. Dan 10 tahun
setelah era reformasi ini, ga ada perubahan. Tetapi yang menarik dari era
reformasi ini adalah sistem politik. Inilah sisi yang kita ambil dari Orde
Lama, demokrasinya. Tapi dari sisi kesejahteraan yang belum kita ambil dari
Orde Baru. Seharusnya era ini adalah era sintesa, antara Orde Lama dan Orde
Baru, kita membutuhkan kebebasan. Tetapi seperti kata Thomas Jefferson:
“Demokrasi itu memuaskan hati masyarakat tapi tidak menyelesaikan persoalan
mereka”. Karena itu cita-cita persoalan Indonesia ke depan adalah persoalan
menemukan titik equilibrium maksimum, titik keseimbangan maksimum antara
demokrasi dan kesejahteraan. Itu persoalan Indonesia ke depan. Nah sekarang di
dalam situasi peta seperti ini ada tiga panggung yang eksis sekarang. Panggung utama
ini yang sering saya sebut dengan segi tiga kekuasaan: Yang satu namanya
Negara. Yang satu lagi namanya civil society, (dan) yang satu lagi
namanya pasar atau market.
Jadi ikhwah sekalian…
Negara ini, tidak lagi berdiri sendiri, walaupun ia adalah
organisasi terbesar yang mengatur ini (civil society) dan mengatur ini (market).
Tapi otoritasnya itu dan kapasitasnya tidak selalu besar. Karena pasar ini juga
tidak berdiri sendiri.
Lebih berkuasa mana dalam mengatur pasar, Negara RI dalam hal ini
Menteri Keuangan atau WTO?? WTO. Jadi ada organisasi di atas Negara, yang mengatur
Negara-negara itu. Begitu juga civil society. Pada akhir 90-an. Setiap tahunnya
ada 3 milyar orang yang naik pesawat dalam catatan Newsweek. Sekarang kan lebih
banyak. Apalagi di era transportasi murah sekarang itu, Sekarang lebih banyak
orang. Artinya apa? Ini artinya antum setuju atau tidak ini adalah era borderless
terri. Gak ada lagi batasan dari segi jarak. Tapi telekomunikasi itu
menghilangkan jarak waktu. Dan 5 atau 10 tahun yang akan datang, tren
telekomunikasi itu nanti, ikhwah sekalian..!! Ini menurut ahlinya, saya konsultasi
dan ngobrol-ngobrol; nanti pembicaraan lokal dan internasional itu akan sama.
Dan provider telekomunikasi, perusahaan seluler sekarang itu akan mulai
turun. Sama semuanya itu. Sekarang sudah mulai sebenarnya. Jadi antum bisa
membayangkan negara tidak bisa membatasi lagi orang saling berkomunikasi. Pelan-pelan
nanti transaksi-transaksi pasar itu seluruhnya akan dilakukan melalui internet.
Dan sekarang bagaimana caranya pemerintah mengambil pajak dari transaksi di
internet.
Civil society, itu artinya apa ikhwah sekalian...
Ada kejadian-kejadian kecil yang terjadi disini itu kedengaran secara global,
contohnya pembunuhan Munir, bunyi suaranya sampai ke PBB, sampai ke Kongres
Amerika itu. Capee.. aja pemerintah menjawab pertanyaan. Itu civil society…
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !